Teori Belajar dan Pengajaran Sains

Pada tahun 1983, lembaga National Science Foundation (NSF) Amerika Serikat mendapatkan kucuran dana untuk riset bagi perbaikan pengajaran sains di tingkat sekolah dasar dan menengah[1]. Tidak seperti biasanya, bagian besar dana riset ternyata diperuntukkan tidak hanya bagi perbaikan kurikulum sains, namun lebih terfokus dalam hal ilmu kognitif yang berhubungan dengan bagaimana siswa belajar dalam sains. Ahli-ahli psikologi, yang dianggap pakar dalam hal teori belajar mengerjakan proyek riset tersebut dibandingkan pakar disiplin sains ataupun pakar pengajaran sains.

Pada dekade sebelumnya (tahun 70-an) terdapat keprihatinan dalam hal pengajaran sains yang ternyata lebih terfokus pada transfer informasi dari guru kepada siswa. Saat itu diasumsikan bahwa hampir semua siswa dapat mempelajari apa yang terdapat dalam isi kurikulum, buku teks atau hal lainnya yang dianggap penting oleh guru. Oleh karena itu temuan riset tentang bagaimana manusia belajar menjadi sangat mendesak untuk didapatkan, karena dapat menyumbangkan dalam konteks isi pelajaran sains tadi dapat ditransfer lebih efektif dan efisien kepada siswa. Ilmuwan kognitif tadi kemudian mencoba melihatnya dari kisah siswa yang dianggap sukses dalam pelajaran sains dari rata-rata lulusan sekolah yang ada di Amerika Serikat. Siswa yang dipilih menjadi objek riset adalah mereka yang berbakat dan mempunyai minat untuk mempelajari sains di universitas, yaitu mahasiswa jurusan fisika dan jurusan teknik. Diasumsikan bahwa dengan mempelajari kemampuan pemecahan masalah dari siswa terbaik tadi akan dapat ditemukan cara yang bisa digunakan juga bagi siswa yang tidak telalu tertarik dan berbakat dalam mempelajari sains. Mengetahui bagaimana siswa terbaik memahami konsep dan mempunyai pandangan yang tepat tentang sains diharapkan dapat membantu lebih banyak siswa memperoleh hal yang sama.

Hasil riset ternyata mendapati hal yang sebaliknya. Alih-alih mendapatkan jawaban pada pertanyaan bagaimana siswa yang sukses belajar untuk dapat membantu yang kurang sukses, laporan yang muncul justru menunjukkan berbagai kekurangan yang dimiliki siswa sukses tadi. Mayoritas mahasiswa jurusan fisika (85%) ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata dimana berbagai konsep, hukum, teori, dan keahlian yang sudah mereka dapatkan di bangku kuliah sesungguhnya bisa dipergunakan dalam konteks baru tersebut. Pada mahasiswa jurusan teknik, 90% dari mereka juga didapati tidak dapat mengaplikasikan konsep dan proses pada masalah baru yang memang sedikit berbeda. Tujuan utama riset yang mau mengungkap bagaimana siswa sukses belajar, ternyata kenyataannya hanya sedikit saja dari mereka yang memang berkemampuan lebih dari sekedar mengulangi konsep dan mengikuti petunjuk laboratorium.

Hasil riset yang mengejutkan ini membuat ilmuwan kognitif mempertanyakan kembali apa yang mereka pahami tentang belajar. Daripada menemukan jawaban bagaimana belajar yang dilakukan siswa yang dianggap sukses,malah ditemukan siswa yang sukses tadi ternyata tidak benar-benar sukses. Mereka pun saat menjelaskan berbagai fenomena alam seperti halnya siswa yang dianggap tidak terlalu sukses. Pengetahuan mereka terbatas pada situasi pada apa yang telah diajarkan pada mereka, yaitu dalam hal mengulangi ide atau memperagakan keahlian. Dengan kata lain siswa sukses tadi sesungguhnya mempunyai pengetahuan terbatas dan tidak dapat melakukan sesuatu tanpa pengajaran atau guru yang membimbing.

Implikasi berikutnya dari hasil riset ini adalah dirasa perlunya peninjauan kembali tentang konsep belajar yang dipahami oleh ilmuwan kognitif. Mereka pun menjadi lebih terbuka dengan hasil riset teori belajar drai kelompok yang menamakan dirinya kontruktivis. Dampak lainnya adalah terjadinya perubahan paradigma dalam riset pendidikan sains yang tidak hanya berfokus pada kurikulum atau guru, namun juga pada siswa.


[1] Diadaptasi dari tulisan: Yeager (1995) Constructivism and the Learning of Science.